Minggu, 15 Mei 2011

SISTIM KEPERCAYAAN MASYARAKAT NELAYAN DI PESISIR KABUPATEN LEMBATA PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR (NTT)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Sistim kepercayan  adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi sistim kepercayaan  bukan hanya menyangkut pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologi. Seluruh sistim kepercayaan  ini dihayati, dipraktikan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekalgus membentuk pola perilaku manusia sehari -hari baik terhadap sesame manusia maupun terhadap alam dan yang gaib.
Satria (2002), menggunakan istilah sistim kepercayaan dan mendefinisikan sebagai suatu kekayaan intelektual mereka yang hingga kini terus dipertahankan. Dalam beberapa literature telah mendapat tempat sebagai salah satu sumber ilmu pengatahuan seperti dalam metode RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries). Inilah yang mesti dikembangkan lebih jauh dan sepatutnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat nelayan dihargai sekaligus dikombinasikan dengan temuan-temuan moderen yang dilahirkan lembaga riset atau perguruan tinggi. Sistim kepercayaan masyarakat  yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka mempunyai peranan sangat besar. Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistim kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan (Gadgil, et al., 1993).
Konsep system kepercayaan  berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional (Mitcheli, 1997). Sistim kepercayaan didasarkan atas beberapa karakter penggunaan sumberdaya (Matowanyika, 1991), ialah:
1.      Sepenuhnya pedesaan
2.      Sepenuhnya didasarkan atas produksi lingkungan fisik setempat
3.      Integrasi nilai ekonomi, sosial, budaya serta institusi dengan hubungan keluarga sebagai kunci sistem distribusi dan keluarga sebagai dasar pembagian kerja
4.      Sistim distribusi yang mendorong adanya kerjasama
5.      Sistim pemilikan sumberdaya yang beragam, tetapi selalu terdapat system pemilikan bersama
6.      Sepenuhnya tergantung pada pengetahuan dan pengalaman lokal.
Salah satu bentuk sistim kepercayaan  di masyarakat pesisir di kabupaten lembata , yaitu apa yang disebut dengan Hak Ulayat Laut (HUL). Secara konseptual hak ulayat laut (HUL) merupakan terjemahan dari bahasa inggris, sea tenure. Seorang pakar kelautan, Launsgaarde, menyebutkan istilah sea tenure mengacu kepada seperangkat hak dan kewajiban timbal balik yang muncul dalam hubungannya dengan kepemilikan wilayah laut (Satria, et al., 2002). Selanjutnya Sudo (1983), dalam Wahyono, et al., (2000), menyebutkan bahwa sea tenure merupakan suatu sistem dengan beberapa orang atau kelompok sosial yang memanfaatkan wilayah laut dan mengatur tingkat eksploitasinya, termasuk melindungi dari eksploitasi yang berlebihan (overexploitation).
Akimichi (1991), menyatakan hak kepemilikan (property right), mempunyai konotasi sebagai memiliki (to own), memasuki (to acces), dan memanfaatkan (to use). Konotasi ini, tidak hanya mengacu pada wilayah penangkapan (fishing ground), tetapi mengacu juga pada tekhnik-tekhnik penangkapan, peralatan penangkapan, teknologi yang digunakan, bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan. Suatu kesimpulan yang membahas mengenai HUL mengatakan bahwa peubah-peubah pokok dalan kajian HUL meliputi: wilayah, unit pemilik sosial, legalitas (legality) beserta pelaksanaannya (enforcement). Wilayah dalam konteks HUL tidak hanya terbatas pada pembatasan luas wilayah, tetapi juga pada eksklusivitas wilayah. Ekskluvitas wilayah ini dapat juga berlaku pada sumberdaya kelautan, teknologi yang digunakan, tingkat eksploitasinya, dan batas-batas yang bersifat temporal (Satria, 2002).

1.2 TUJUAN
Tujuan dari pembuatan tugas ini adalah sebagai salah satu persyaratan utuk mendapatkan nilai di ujian akhir pada mata kuliah sosiologi masyarakat pantai ( sosmap ). Selain  itu juga dengan adanya tugas ini maka, dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa khususnya saya sendiri dalam mengetahui sistim kepercayaan nelayan di pesisir kabupaten lembata

BAB II
ISI PEMBAHASAN

2.1  POTENSI SISTIM KEPERCAYAAN MASYARAKAT NELAYAN DI PESISIR KABUPATEN LEMBATA
Masyarakat pesisir Kabupaten Lembata memiliki potensi dan kekayaan sistim kepercayaan yang cukup banyak. Kepercayaan  tersebut dianut sebagai suatu bentuk peradaban dan sistim nilai serta pranata berkaitan dengan usaha pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam laut dan pesisir. Kekayaan kepercayaan  tersebut menuntun mereka untuk selalu hidup selaras, harmonis dengan alam lingkungannya.
   A. Sistem Kepercayaan Masyarakat Nelayan Di Pesisir Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Laut Di Kecamatan Wulandoni
Sistim kepercayaan Dalam memanfaatkan sumberdaya laut masyarakat pesisir di Kecamatan Wulandoni selalu mengikuti kebiasaan yang sudah menjadi tradisi adat yakni dengan melakukan suatu acara dalam bentuk ritual yang menurut sistem kepercayaan dan pengetahuan masyarakat setempat ritual tersebut dapat memberikan hasil usaha mereka sebagai nelayan maupun keselamatan mereka selama melaut.
·         Sistim Kepercayaan Masyarakat Nelayan  Di Pesisir Desa Pantai Harapan
Masyarakat nelayan Desa Pantai Harapan memiliki sistim kepercayaan ritual yang berhubungan dengan usaha mereka sebagai nelayan dalam memanfaatakan sumberdaya laut. Ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat yakni:
a.      Bito Berue
Merupakan suatu sistim kepercayaan ritual yang dilakukan oleh nelayan setempat sebelum menggunakan sampan/juku baru. Acara ini biasanya dilakukan di pantai dengan menggunakan bahan-bahan seperti ayam jantan yang jenggernya masih utuh. Jengger ayam dipotong oleh tua adat laut (Aho Male) , lalu darahnya dioles disekeling sampan/juku baru.
b.      Lepa Nua Dewe
Sistim kepercayaan ritual ini dilakukan untuk melepas pukat yang ukurannya kecil yang dalam bahasa setempat disebut noro. Jenis pukat ini merupakan alat tangkap tradisional masyarakat setempat untuk menangkap ikan serdin dan tembang biasanya pada musim-musim tertentu selalu muncul diperairan laut daerah setempat dalam jumlah yang sangat banyak.
c.       Bruhu Brito
Merupakan suatu tradsi oleh masyarakat nelayan setempat sebelum melepas pukat baru untuk menangkap jenis ikan selain tembang.
d.      Tula Lou Wate
Upacara ini merupakan tradisi dalam memberi makan kepada ”leluhur di laut” dengan maksud memanggil ikan agar ikan dapat berkumpul dan memberikan hasil tangkapan yang banyak.
Semua jenis ritual tersebut di atas dilakukan oleh tua adat laut yang dalam bahasa masyarakat setempat disebut Aho Male. Masyarakat setempat tampaknya sangat patuh dan taat terhadap sistem nilai setempat. Hal yang menarik di sini adalah meskipun sistim kepercayaan setempat lebih banyak pada usaha penangkapan, namun dalam ritual tersebut diwanti-wanti oleh Aho Male bahwa tidak boleh menangkap dalam jumlah yang sangat banyak.
Jika hasil tangkapan terlalu banyak, maka akan membawa resiko berupa sakit atau bencana lainnya di laut. Selain itu, adanya sistim kepercayaan tersebut, masyarakat nelayan setempat selalu tercipta hubungan kerjasama yang harmonis dalam semangat gotong royong, tidak saling bersaing dalam usaha penangkapan, termasuk tidak saling merusak atau mencuri alat-alat tangkap yang dimiliki oleh sesama nelayan. Juga diakui bahwa adanya sistim keprcayaan  ini dapat menciptakan adanya kesadaran masyarakat nelayan untuk tidak menangkap dan memanfaatkan hasil-hasil laut secara bebas, berlebihan dan merusak sumberdaya laut.
·      Sistim Kepercayaan Masyarakat Nelayan  Di Pesisir Desa Wulandoni
Dalam hal usaha penangkapan masyarakat nelayan tradisional di Desa Wulandoni selalu melaksanakan kepercayaan dalam bentuk ritual. Ritual biasanya dilakukan sebelum melepas pukat baru. Sebelum melepas pukat baru ke laut umumnya nelayan melakukan acara ritual terlebih dahulu dengan acara Toto.
Ritual toto biasanya dilakukan di pinggir pantai dan dipimpin oleh tuan tanah (tua adat) setempat yang disapah dengan Lewo Tanah Alap. Dalam acara ritual toto Tua Adat (Lewo Tanah Alap) akan melakukan penyembelian ayam jantan merah dan darah ayam dipercik atau dioles pada pukat dengan berjalan melingkari pukat. Kemudian ayam jantan merah yang sudah disembeli dimasak dengan cara dibakar, dan bersama dengan material lainnya (pisang, jangung titi, dan tuak) untuk selanjutnya dilakukan sesajen sebelum dimakan bersama. Makna penting dari kepercayaan ritual ini adalah agar alat tangkap (pukat) dapat memberikan hasil yang baik bagi usaha mereka.
Makna lainnya  dalam acara semacam ini adalah untuk mencerminkan ikatan sosial dan kebersamaan antara nelayan. Sebagai perwujudan dari kebersamaan dan ikatan social diantara masyarakat, maka hasil tangkapan untuk pertama kali dari pukat baru tersebut harus dibagi dan diberikan kepada para janda-janda dan jumpo-jumpo. Penghargaan dan penghormatan terhadap Lewo Tanah Alap (Tua Adat) sangat tinggi, karena hasil tangkapan tua adat selalu mendapat kebagian.
Tua Adat juga dihargai, jika sewaktu-waktu ditemukan ikan jenis besar yang terdampar seperti lumba-lumba, pari, penyu dan paus yang terdampar, sebelum ikan tersebut dipotong, nelayan yang menemukan harus terlebih dahulu menghubungi Lewo Tanah Alap, selanjutnya ikan tersebut dibagi-bagi dengan syarat Lewo Tanah Alap harus mendapat kebagian bagian kepala dan jantung dari ikan tersebut.
·      Sistim Kepercayaan Masyarakat  Nelayan Di Pesisir Desa Lamalera
Lamalera merupakan sebuah wilayah terdapat di Kecamatan Wulandoni yang terletak disebelah selatan bagian barat Kabupaten Lembata. Lamalera memiliki dua desa yang berdekatan yakni Desa Lamalera A dan Desa Lamalera B. Secara sosio-cultur peradaban masyarakat di kedua desa ini tidak berbeda, karena pada dasarnya berasal dari asal usul yang sama.
Masyarakat nelayan lamalera memiliki keunikan tersendiri terutama dalam hubungan dengan aktivitas melaut. Sistim kepercayaan yang sudah menjadi budaya di Lamalera adalah budaya penangkapan ikan paus secara tradisional. Budaya ini sudah lama dimiliki dimulai sejak zaman nenek moyang dan tetap dipegang teguh oleh setiap anggota masyarakat nelayan dan berlangsung sampai sekarang. Dalam hal penangkapan ikan paus tradisi dan budaya ini terus diwariskan ke generasi berikutnya.
Sistim kepercayaan yang terdapat di desa lamalera adalah system kepercayaan dalam bentuk ritual dan upacara adat. Sistim kepercayaan tersebut  merupakan suatu perpaduan yang sinergis dan harmonis antara adat dan religius serta harus dilakukan secara teliti, ketat, sempurna dan benar. Sistim kepercayaan berupa ritual dan upacara adat dimaksud dimulai dari proses pembuatan perahu tradisional khusus digunakan penagkapan ikan paus yang dalam bahasa setempat disebut peledang, penyiapan peralatan dan sarana penunjang, peralatan penangkapan ikan paus, proses turun ke laut, pantangan-pantangan dan larangan-larangan yang harus dihindari serta tatacara pembagian hasil tangkapan.
Aktvitas dan musim penangkapan ikan paus yang dikenal dengan istilah Leffa Nuang (musim turun ke laut), yang dilasanakan setiap tahun dan biasanya dimulai sejak bulan Mei sampai dengan bulan Oktober. Beberapa upacara adat dan tahapan penting yang dilakukan pada Leffa Nuang adalah sebagai berikut:
a.   Upacara Tobu Nama Fatta
Adalah upacara di mana para Tua Adat Lamalera berkumpul bersama dengan semua nelayan di sebuah Kapel (Kne’) sejenis rumah ibadat orang Katolik yang berukuran kecil yang dibangun persis di pinggir pantai Lamalera. Dalam upacara Tobu Nama Fatta dibicarakan hal-hal yang prinsip yang berkaitan dengan aturan melaut. Selain itu juga dalam upacara Tobu Nama Fatta, dapat dijadikan semacam forum evaluasi terhadap berbagai kegiatan, hambatan para nelayan Lamalera pada musim penangkapan sebelumnya serta upaya-upaya dan strategi yang harus diantisipasi dan dihadapi nelayan pada musim penangkapan sekarang
Setelah upacara ini para Tua Adat akan mengahdap Tuan Tanah Lamalera untuk meminta restu sehingga Leffa Nuang dapat dimulai.
b.      Misa Arwah
Merupakan kebaktian secara Katolik yang dipimpin oleh Pastor (Pendeta Katolik) yang bertujuan untuk mendoakan semua arwah leluhur yang meninggal di laut dan upacara misa ini dilaksanakan sehari sebelum kegiatan melaut (biasanya dilaksanakan pada setiap tanggal 30 April).
c.       Misa Leffa
Adalah upacara kebaktian yang bertujuan untuk memohon berkat serta perlindungan dari Tuhan Yang Mahakuasa (Ama rera wulan tana ekan) selama Leffa Nuang berlangsung. Pastor akan mereciki dan memberkati semua perahu (tena/peledang), perlengkapan perahu serta semua nelayan yang siap melaut. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada setiap tanggal 1 Mei.
d.      Tena Fulle
Adalah upacara di mana salah satu perahu (peledang) tertentu yang dipercayakan untuk pertama kali melaut pada hari pertama yang didahuli dengan upacara ritual adat memberi makan kepada arwah leluhur bertempat di pinggir pantai dan dilakukan oleh Tua Adat (Ata Molang). Bagi masyarakat nelayan Lamalera aktivitas Leffa Nuang merupakan suatu aktivitas yang sangat sakral dan memiliki resiko yang sangat tinggi, oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara personal dalam komunitas masyarakat harus dijaga agar tetap harmonis. Tidak boleh terdapat perselisihan antara nelayan atau kelompok masyarakat bahkan dalam keluarga tidak boleh terjadi pertengkaran antara suami -  istri maupun dengan anak.
      Keharmonisan tersebut diwujudkan dengan saling maaf memaafkan sebelummelaut, karena mereka sangat percaya bahwa jika terjadi perselisihan atau pertengkaran Arwah Leluhur danTuhan Yang Maha Kuasa tidak berkenan dan tidak akan memberikan berkat dan rahmat serta rezeki yang berlimpah. Mereka juga sangatpercaya jika semua tahapan-tahap secara adat maupun agama tidak dilakukan dengan sempurna serta terjadi pertengakaran atau perselisihan maka dalam aktivitas melaut akan mengalami resiko yang dapat bersifat fatal, karena yang mereka hadapi ikan paus yang merupakan makhluk paling besar penghuni laut. Suasana kerjasama antara nelayan, pantangan seperti tidak boleh maki, mencuri menjadi tabu bagi nelayan Lamalera. 
   B. Sistim Kepercayaan Masyarakat Nelayan Di Pesisir Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Laut Di Kecamatan Omesuri
·      Sistim Kepercayaan Masyarakat Nelayan  Di Pesisir Desa Wailolong
Desa Wailolong merupakan salah satu desa pesisir di Kecamatan Omesuri dan memiliki sstim kepercayaan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut maupun di darat. Di desa ini, terdapat sistem kepercayaan tradisional, yakni menurut mereka bahwa di laut ada penguasanya yang disebut ”hari” dan penguasa di darat yang disebut ”neda ”. Adanya sistim kepercayaan ini mendorong pemangku adat ”lemaq ” untuk melakukan ritual ’kolo umen bale lamaq” yakni upacara memberi makan kepada penguasa di laut sebelum mereka melakukan penangkapan, budidaya rumput laut maupun pengelolaan sumberdaya pesisir seperti penanaman bakau. Namun demikian tradisi ini hanya dilakukan oleh orang tertentu dan sifatnya perorangan, belum merupakan suatu kesepakatan bersama.
·      Sistim Kepercayaan Masyarakat  Nelayan Di Pesisir Desa Lebewala
Masyarakat pesisir Desa Lebewala Kecamatan Omesuri Kabupaten Lembata mempunyai system keprcayaan dalam pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir. Dalam pemanfaatan sumberdaya teripang sistem nilai yang mengatur masyarakat setempat adalah ”poan kemer puru larang” yakni suatu tradisi larangan secara adat bagi masyarakat untuk tidak mengambil hasil-hasil laut secara bebas.Penangkapan teripang hanya boleh dilakukan jika tuan tanah, tua adat dan dukun- dukun melakukan ritual terlebih dahulu. Dukun (Ata Molang) akan melakukan ritual dan selanjutnya masyarakat boleh mengambil teripang. Setelah kurang lebih 2 tau 3 hari, Ata Molang akan melakukan ritual pelarangan kembali wilayah perairan tersebut.
Selain Ata Molang melakukan tradisi pelarangan secara ritual, Pemerintah Desa Lebewala juga memiliki Kesepakatan Desa yang sifatnya mengikat secara hukum yakni berupa sanksi denda dalam bentuk uang tunai satu juta rupiah dan kambing jantan besar senilai satu juta rupiah. Dengan adanya sanksi secara adat dan atauran pemerintah tampaknya membuat masyarakat kawasan pesisir desa ini cukup jerah dalam melakukan tindakan pengurasakan atau pengambilan teripang secara bebas.
·      Sistim Kepercayaan Masyarakat  Nelayan Di Pesisir Desa Balauring
Desa Balauring merupakan ibukota Kecamatan Omesuri danmerupakan suatu wilayah perairan teluk yang cukup dalam sehingga di tempat ini terdapat sebuah dermaga yang dapat melayani pendaratan kapal-kapal ikan dan kapal-kapal perintis lainnya. Karakteristik masyarakat di Desa Balauring sedikit berbeda dengan masyarakat pesisir di desa-desa lainnya. Hal ini disebabkan oleh komunitas masyarakatnya yang cukup heterogen dan pola peradaban penduduk di wilayah desa ini sudah banyak dipengaruhi oleh masyarakat pendatang.
Masyarakat pendatang yang bermukim di wilayah pesisir di desa Balauring yakni dari suku Bajo dan Bugis. Oleh karena itu system kepercayaan ritual yang berkaitan adat istiadat yang berhubungan dengan kegiatan konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir sudah tidak ditemukan pada masyarakat di desa ini. Sebagai contoh banyak masyarakat dari Suku Bajo memiliki bangunan rumah panggung di atas laut. Mereka menebang pohon bakau dan selanjutnya digunakan sebagai bahan bangunan dan jembatang/jalan pengubung antara rumah yang satu dan lainnya.
Perilaku masyarakat dan pola pemukinan seperti ini tampaknya bertentangan dengan nilai-nilai dan aspek-aspek konservasi sumberdaya. Perilaku dan pola pemukiman semacam ini memberi dampak yang cukup besar terhadap kerusakan hutan mangrove dan sumberdaya pesisir lainnya serta tingkat pencemaran limbah rumah tangga yang cukup tinggi di wilayah perairan Teluk Balawuring.
C. Sistim Kepercayaan Masyarakat Nelayan Di Pesisir Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Laut Kecamatan Ile Ape
·         Sistim Kepercayaan Masyarakat Nelayan  Di Pesisir Desa Watodiri
Desa Watodiri adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Ile Ape. Watodiri berasal dari ”wato” yang berarti batu dan ”diri” berarti berdiri, sehingga Watodiri berarti batu berdiri. Batu tersebut sampai kini masih berdiri tegak di pinggir pantai. Pemberian nama Desa Watodiri sebenarnya muncul kemudian yakni ketika terjadi pembentukan desa gaya baru di wilayah itu. Mulanya nama asli wilayah ini, lebih dikenal oleh masyarakat setempat sejak zaman dulu adalah Lewu Kimakama yakni sebuah kampung yang kini menjadi sebuah dusun yang langsung berada di pesisir.
Kotan, et.al., (2003), menjelaskan bahwa masyarakat di Desa Watodiri sangat menyadari akan eksistensi kehidupan mereka dengan eksistensi kehidupan makhluk lainnya dalam kebersamaan di bumi yang sama dan satu ini. Khusus yang berhubungan denagn eksploitasi dan konservasi sumberdaya laut dan pesisir masyarakat memiliki system kepercayaan  yang disebut ”Badu”. Badu sampai kini masih diakui dan dianut serta tetap dipelihara secara baik oleh masyarakat setempat.
Menurut penuturan tokoh-tokoh kunci dan masyarakat setempat bahwa badu dapat bermakna eksploitasi yaitu pada saat diperbolehkan tangkap (buka badu) dan juga bermakna konservasi yakni pada saat dilarang/ditutup (letu badu). Upacara penangkapan hasil-hasil laut secara bebas oleh masyarakat di wilayah ini baik yang berada di wilayah pesisir (Lewu Leing) maupun yang berada di pegunungan (Lewu Werang).
Kegiatan ini bermakna memberi makan kepada banyak orang dan dinikmati bersama yang dalam bahasa masyarakat setempat disebut ”pau ribu ratu”. Tahapan-tahapan pembukaan badu (buka badu) dilakukan sebagai berikut:
a.       Penguasa wilayah laut atau penjaga pantai (Nama Watan) menyampaikan kepada Penguasa ulayat/adat (Kebelen Raya) bahwa ikan-ikan di perairan daerah badu sudah banyak sehingga sudah tiba saatnya kegiatan buka badu dapat dilaksanakan.
b.      Pemimpin ulayat (Kebelen Raya) bersama tokoh lainnya dan pemerintah setempat merencanakan dan menetapkan waktu yang tepat untuk dilaksanakan pembukan badu.
c.       Berdasarkan kesepakatan waktu yang ditentukan oleh Kebelen Raya, penjaga pantai (Nama Watan) akan segera menyampaikan secara luas kepada para pemilik perahu, sampan dan pukat serta masyarakat luas di wilayah desa itu, termasuk juga mereka yang berada dipegunungan (Lewu Werang) untuk menangkap ikanikan di daerah pembukaan badu.
d.      Semua peralatan tangkap dan nelayan serta masyarakat harus melakukan ritiual sesajen yang dalam bahasa setempat disebut ”tunu muku manu” yang memiliki makna memberi makan kepada arwah/roh leluhur (pau lewotana) yang telah meninggal di laut. Acara ini dilakukan oleh seorang tua adat (Ata Molang) yang memiliki wewenang untuk melaksanakan ritual tersebut.
e.       Setelah ritual tunu muku manu dan pau lewotana selesai, penjaga pantai (Nama Watan) akan masuk ke dalam laut dan melepas pukat pertama, kemudian baru diikuti oleh yang lain. Sedangkan Kebelen Raya tidak melakukan penangkapan, namun Kebelen Raya selalu mendapat kebagian dari semua mereka yang memiliki perahu, sampan dan pukat.
f.       Upacara buka badu ini hanya berlangsung sehari dalam setahun yang pada waktu pagi sampai petang menjelang malam. Ketika hari mulai senja dan menyongsong malam Kebelen Raya bersama Nama Watan dan pemerintah desa setempat harus penancapan sebuah kayu/tiang yang diikat dengan pucuk daun kelapa berwarnah putih.
g.      Selama wilayah perairan badu ditutup, masyarakat nelayan desa ini tidak diperkenankan melakukan aktivitas penangkapan ikan dan sumberdaya lainnya di dalam wilayah larangan, mereka hanya diperkenankan menangkap di luar dari wilayah badu
·      Sistim Kepercayaan Masyarakat  Nelayan Di Pesisir Desa Lamatokan
         Desa Lamaton adalah salah satu desa pesisir di wilayah Kecamatan Ile Ape. Masyarakat di wilayah ini juga memiliki pranata dan aturan adat yang bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir. Masyarakat di wilayah desa ini berasal dari Suku Kedang, dan dalam kehidupan sehari-hari mereka menyadari akan betapa pentingnya sumberdaya laut dan pesisir demi menopang kehidupan mereka. Dengan adanya kesadaran tersebut dan semakin meningkatnya kerusakan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan luar dan melintasi disekitar wilayah perairan tersebut maka mereka menetapkan daerah larangan dan masyarakat tidak boleh mengambil hasil-hasil laut yang terdapat di dalamnya. Tradisi  kepercayaan  yang terdapat di Desa Lamatokan dikenal dengan nama ”Muro”. Kepercayaan  ini masih berlaku sampai sekarang dan masyarakat memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap larangan tersebut.
         Larangan ini disertai dengan sanksi dan denda yang disepakati baik secara adat maupun melalui Peraturan Desa. Bentuk sanksi yang disepakati adalah berupa uang tunai sebesar satu juta rupiah dan kambing jantan dan babi besar seharga satu juta masing-masing satu ekor. Semua hasil kesepakatan adat dan bentuk-bentuk sanksi yang telah disetujui oleh Tuan Tanah (Lewotana Alaweng) harus disosialisasi melalui pengumuman kepada masyarakat luas untuk diketahui dan dilaksanakan. Tugas ini biasanya dilakukan oleh pembantu Lewotana Alaweng yang dalam bahasa setempat ”Taran mekin taran wanan”. Disamping itu perangkat pemerintahan desa setempat juga turut memberikan sosialisasi kepada masyarakat baik para nelayan maupun non nelayan.
Perilaku dan peradaban masyarakat seperti di atas ternyata memberi makna positif bagi upaya konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir dan laut. Oleh karena itu sebelum melakukan usaha penangkapan ikan, budidaya maupun melakukan larangan selalu didahului dengan upacara ritual.
         Masyarakat nelayan di Desa Lamatokan sebelum melepas pukat, sampan dan yang perahu baru, maupun usaha budidaya rumput laut dan keramba jaring apung Balawaheng (pemimpin upacara) melakukan upacara ritual untuk memberi makan kepada arwah nenek moyang (leluhur) yang dalam sebutan mereka dikenal dengan nama ”Pau boe ama opo koda kewoka” dengan harapan semoga usaha mereka dapat membawa hasil yang banyak dan selalui dijauhi dari aral dan rintangan serta bahaya yang mengancam kehidupan dan usaha mereka. Acara ini harus dihadiri dan mendapat restu dari Tuan Tanah atau Tua Adat yang dalam sebutan masyarakat setempat adalah Lewotana Alaweng.
         Setelah mendapat restu dari Lewotana Alaweng, pemimpin upacara ritual (Balawaheng) bersama pemilik pukat, sampan, dan perahu menuju ke Maung (semacam mesbah) yang terdapat di pantai untuk selanjutnya dilaksanakan acara ritual.
·         Sistim Kepercayaan Masyarakat  Nelayan Di Pesisir  Desa Dulitukan
Badu merupakan istilah yang digunakan untuk menangkap ikan tembang yang dalam bahasa setempat disebut ”kete” dan dilakukan secara masal oleh masyarakat empat desa (Tagawiti, Dulitukan, Kolipadan dan Palilolon) di hamparan Tanjung Bahagia Kecamatan Ile Ape. Tempat penangkapan ini berada pada sebuah teluk yang panjangnya kurang lebih 400 meter dari peraian laut Nereng dengan lebar sekitar 20 meter. Di sekitar teluk ini terdapat hamparan pohon bakau (mangrove) yang cukup lebat. Teluk Nereng ini berada di hamparan Tanjung Bahagia dan berhadapan dengan kota Lewoleba ibukota Kabupaten Lembata.
Waktu penangkapan ikan ini hanya berlangsung sekali dalam setahun yaitu sekitar bulan Agustus sampai Oktober pada saat air surut dan biasanya terjadi pada siang hari. System kepercayaan Tradisi ini berlangsung semenjak nenek moyang keempat desa ini berada di wilayah ini. Sebelum kegiatan badu dibuka untuk masyarakat umum, pemimpin adat (Kebelen Raya) dan penjaga pantai (Nama Watan) terlebih dahulu melakukan suatu upacara adat (ritual) yang bermakna meminta izin kepada penghuni laut dan roh-roh nenek moyang yang meninggal di laut dengan maksud supaya hasil tangkapan mereka berlimpah. Kegiatan ritual biasanya dilakukan di pinggir pantai di sekitar tempat penangkapan.
Peralatan yang dipakai untuk menangkap ikan ini adalah jalah dan jenis peralatan tradisional yang disebut pewai . Peralatan jala pada waktu itu hanya dimiliki 4 – 5 orang saja, sedangkan yang lainnya hanya memiliki peralatan taradisional pewai. Dengan peralatan yang dimiliki mereka dapat menangkap hasil yang banyak. Kegiatan ini dimaksudkan agar masyarakat di wilayah keempat desa ini tidak menggunakan hasil-hasil laut secara leluasa dan mereka juga menyadari dengan cara ini sumberdaya pesisir dan laut dapat dijaga dan dilestarikan sehingga ketika musim buka badu tahun berikutnya dapat memberikan hasil yang lebih banyak lagi.
Namun demikian system kepercayaan tardisi ini yang baik dan memiliki makna konservasi ini sudah mulai berangsur pudar dan bahkan ketika peneliti melakukan observasi dan wawancara kepada masyarakat dan pemimpin di wilayah diperoleh informasi bahwa tradisi badu sudah tidak lagi dilaksanakan oleh masyarakat setempat pada puluhan tahun terakhir. Disampaikan pula bahwa tidak dilaksanakan tradisi ini disebabkan oleh pertama, kurangnya system penguatan kelembagaan adat dan pewarisan kepada generasi berikutnya dalam melaksanakan upacara badu. Kedua, arus masuk dan keluarnya kapal-kapal yang melintasi wilayah perairan Teluk Nereng yang semakin ramai karena berhadapan langsung dengan kota Lewoleba.
2.2  PEMBANGUNAN PERIKANAN DAN PEMBERDAYAAN SISTIM KEPERCAYAAN DI PESISIR KABUPATEN LEMBATA
Pembangunan Perikanan di Kabupaten Lembata, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan terbentuknya Kabupaten Lembata pada tahun 2000, pemerintah daerah dengan melalui keterbatasan sumberdaya manusia maupun dana, telah berusaha secara perlahan-lahan memberikan fokus perhatian terhadap pembangunan sektor ini. Pemerintah Kabupaten Lembata sangat menyadari akan keberadaan potensi sumberdaya laut yang cukup besar, maka arah dan kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan tetap menjadi perhatian dari tahun ke tahun, meskipun program pengembangan dan kegiatan pembangunan perikanan serta dukungan dana diakui masih sangat kecil dari tahun ke tahun, jika dibandingkan dengan jumlah anggaran pembangunan seluruh Kabupaten Lembata maupun sektor lainnya.Namun demikian komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata terhadap pembangunan sektor ini tetap menjadi perhatian serius.
Dalam aspek pemberdayaan sistim kepercayaan masyarakat, yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan tampak belum menjadi perhatian yang serius. Jika dicermati dari program dan kegiatan yang ada dari tahun ke tahun tampak banyak yang berorientasi pada proyek. Penekanan program dan kegiatan pada aspek pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir masih sangat kurang.  Sementara di lain pihak, keberadaan kelembagaan lokal berserta Sistim kepercayaan tradisi dan hukum adat, diakui memiliki peranan yang sangat strategis dalam mengadobsi berbagai program-program dan kegiatan pembangunan.
Pada tahun 2000 ketika Kabupaten ini mulai terbentuk terdapat 2 program dan kegiatan dengan besar anggaran Rp. 415.250.000,00. Selanjutnya pada tahun 2001 dengan satu program yang mencakup tiga kegiatan dan dari segi dana mengalami peningkatan sebesar Rp. 660.000.000,00 (58,95%), Jika dibandingkan pada 2001, pada tahun 2002 hanya terdapat satu progam dengan kegiatannya tidak dijabarkan secara rinci, namun besarnya anggaran mengalami peningakatan menjadi Rp. 1.070.000.000,00 atau mengalami kenaikan sebesar 62,12%. Selanjutnya pada tahun 2003, dari aspek program dan kegiatan mengalami peningkatan yakni terdapat tiga program dan dijabarkan 14 kegiatan, namun dilihat dari sisi anggaran mengalami penurunan menjadi Rp. 724.800.000,00 atau mengalami penurunan sebesar -32,26% jika dibandingan pada tahun sebelumnya.
Pada tahun 2004 terdapat tiga program dan dijabarkan dalam 13 kegitan dengan jumlah anggaran mengalami kenaikan sebesar 98,29% atau sebesar Rp. 1.437.225.000,00. Dengan demikian rata-rata kenaikan anggaran pembangunan Dinas Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Lembata selama lima tahun 37,42%. Jika dicermati dari total anggaran pembangunan seluruhnya maka alokasi dana untuk sektor ini masih terasa sangat kecil.
Dengan demikian, maka perubahan dan kecepatan pertumbuhan pembangunan sektor perikanan dan kelautan masih sangat lambat. Selain itu jika dicermati dari program dan kegiatan yang ada dari tahun ke tahun tampak banyak yang berorientasi pada proyek. Penekanan pada aspek pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir masih sangat kurang. Lebih lanjut program-program dan kegiatankegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan, rivitalisasi dan refungsionalisasi kearifan lokal, hukum adat tradisi dan budaya masyarakat pesisir dan nelayan dalam rangka penguatan kelembagaan lokal untuk memperkuat local governence hampir tidak mendapat perhatian sama sekali. Sementara di lain pihak keberadaan kelembagaan lokal berserta system kepercayaan memiliki peranan yang sangat strategis dalam mengadobsi berbagai program-program dan kegiatan pembangunan.
2.3 PERSEPSI DAN ASPIRASI MASYARAKAT DI PESISIR KABUPATEN LEMBATA TENTANG SISTIM KEPERCAYAAN
Berdasarkan hasil pengamatan melalui kegiatan wawancara mendalam baik secara individu maupun melalui diskusi kelompok terbatas diperoleh gambaran bahwa masyarakat pesisir sampai saat ini, masyarakat memandang bahwa nilai system kepercayaan  terutama dalam kaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir merupakan bagian integral dan melekat dengan aktivitas kehidupan mereka. Sistem nilai ini merupakan pranata yang dapat menuntun dan mengatur hubungan mereka dengan alam lingkungannya. Mereka memiliki pemahaman dan kepercayaan bahwa alam memiliki suatu kekuatan dan alamlah yang dapat memberi mereka rezeki serta keberuntungan.
Dilain pihak mereka juga percaya bahwa pada kondisi tertentu, ketika penghuni alam ini, maksudnya manusia serakah dan bertindak dalam memanfaatkan sumberdaya alam laut dan pesisir tidak sesuai dengan sistem nilai, hukum adat dan tradisi budaya yang dianut, maka alam akan bertindak sebaliknya yakni memberi sanksi dan hukuman kepada manusia. Menurut sistem kepercayaan masyarakat setempat bentuk hukuman yang alam berikan kepada mereka dalam memanfaatkan sumberdaya alam laut dan pesisir yang tidak sesuai dengan kesepakatan adat dan tradisi masyarakat setempat, dapat berupa bencana alam, sakit yang tidak dapat diobati secara medis, kecelakaan baik di laut dan di darat (tenggelam, digigit ikan hiu, paus, ular atau jatuh dari pohon).
Resiko dan hukuman alam ini dapat dialami secara fatal yakni menimbulkan kematian dan/atau hanya menimbulkan kecelakaann seperti luka, patah, hilang beberpa organ tubuh dan dapat juga menimbulkan kelumpuhan serta mempengaruhi gangguan kejiwaan (gila). Mereka sangat menyadari bahwa nilai-nilai tersebut merupakan warisan leluhur yang perlu ditumbuh-kembangkan kembali agar menjadi penuntun moral dan pranata untuk mengatur masyarakat dalam menfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.Kesadaran masyarakat dalam melestarikan sistim kepercayaan yang  berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, juga disebabkan oleh adanya kekewatiran akan pudarnya atau hilangnya nilai-nilai sistim kepercayaan . Fenomena lainnya adalah dewasa ini di mana-mana terjadi perilaku pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut cenderung bersifat destruktif dan tidak ramah lingkungan.
Selain itu masyarakat pada daerah tersebut merasa pesimis dan meragukan implementasi hukum-hukum positip termasuk aparat penegak hukum. Respons masyarakat terhadap hukum-hukum positip yang ada dan berlaku sangat rendah.  Hal ini disebabkan karena adanya kenyataan bahwa para pelaku pengursakan lingkungan yang ditangkap tidak jelas penyesaiannya dan tidak membuat jera terhadap para pelaku pengrusak lingkungan.
2.4  PELUANG PEMBEDAYAAN SISTIM KEPERCAYAAN MASYARAKAT DI PESISIR KABUPATEN LEMBATA
Sistim kepercayaan  yang terdapat di Kabupaten Lembata memiliki peluang untuk dihidupkan dan ditumbuhkembangkan kembali sehingga dapat mengatur kehidupan dan menjadi pranata, norma dan aturan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Diakui oleh tokoh-tokoh kunci dan masyarakat didaerah melalui informasi dari beberapa nara sumber dikatakan bahwa masyarakat memiliki kepatuhan dan ketaatan yang sangat tinggi terhadap nilai-nilai system kepercayan yang berlaku di daerah tersebut. Cara pandang demikian memberi makna positip bagi penataan dan pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir. Adanya sistim nilai ini memberi kesadaran kepada masyarakat pesisir tentang bagaimana cara sebaiknya sebelum memanfaatkan alam lingkungan di sekitarnya.
Mereka sadar sepehunya akan betapa pentingnya alam dapat menopang keberlanjutan kehidupan mereka, karena itu cara pandang masyarakat seperti ini hendaknya menjadi kekayaan,  sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen penting dalam memobilisasi kekuatan sosial untuk upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut peranan lembaga sistim kepercayaan  memiliki peluang yang sangat strategis untuk dimanfaatkan dalam upaya pembinaan terhadap masyarakat pesisir dan nelayan.
Aspek ini dapat dijadikan sebagai pintu masuk atau jembatan yang menghubukan antara program dan kegiatan pemerintah dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian apapun program yang direncanakan pemerintah diyakini akan dapat berjalan dengan cepat dan tepat sasaran sehingga memberikan dampak terhadap keberhasilan dan keberlanjutan program yang maksimal. Dalam manajemen konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir dan system kepercayaan  merupakan salah satu faktor pertimbangan yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa apa yang diprogramkan harus dapat diterima menjadi kebutuhan masyarakat setempat dengan tidak bertentangan dengan aspek sosial budaya yang hidup dan berkembang di daerah tersebut.
Adanya rasa saling percaya, dan dengan kesungguhan hati, keiklasan semua komponen (stakeholders) yang terlibat serta adanya prinsip win-win solution, maka akan lebih memacu gerak langkah pembangunan perikanan dan kelautan, sehingga  dengan demikian masyarakat dan nelayan setempat dapat merasakan dan menikmati hasil usaha dan peran serta mereka. Lebih lanjut perubahan perilaku yang positif yang berkaitan dengan pengelolaan akan mampu bertahan dan menjadi dasar filosofi dalam membangun kehidupan bersama dengan makhluk lain secara serasi, selaras dan harmonis dengan lingkungan dalam satu komunitas ekologis.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Sistim kepercayaan yang terdapat di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur dan mempunyai hubungan yang erat dengan usaha dan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut adalah Badu, Muro, Kolo Umen Bale Lamaq, Poan Kemer Puru Larang, Toto, Bito Berue, Lepa Nua Dewe, Bruhu Bito, Leffa Nuang. Tradisi dan kearifan tersebut memiliki peranan yang sangatstrategis dalam upaya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.
2. Pendekatan pemberdayaan sistim kepercayaan diharapan akan terjadi perubahan dasar    perilaku sosial yang berkaitan dengan perilaku konservasi sumberdaya pesisir dan laut. Perubahan tersebut hanya dapat terlaksana apabila secara penuh didasarkan pada kesadaran, keiklasan dan kesungguhan semua pihak yang terlibat (stakeholders) dalam proses mobilisasi sosial.
3. Program dan kegiatan serta alokasi dana pembangunan yang disusun lebih berorientasi pada bagaimana usaha untuk meningkatkan produksi penangkapan dan lebih bersifat proyek dan perencaaannya masih bersifat top down, kurang melibatkan masyarakat serta tidak bernuasa pemberdayaan nelayan sehingga perubahan peningkatkan produksi dan perilaku masyarakat nelayan terhadap aspek-aspek manajemen usaha belum membawa hasil yang maksimal.
4. Persepsi dan aspirasi lokal masyarakat pesisir dan nelayan di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur terhadap nilai-nilai sistim kepercayaan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir diakui masih sangat kuat dan masyarakat memiliki kepatuhan/ketaatan yang tinggi. Persepsi ini diwujudkan melalui berbagai upacara ritual pada sebelum dan sesudah melakukan usaha penangkapan maupun kegiatan budidaya, karena mereka menyadari bahwa eksistensi kehidupan mereka tidak terlepas dari eksistensi kehidupan makhluk lainnya dalam kebersamaan di bumi yang sama.
5. Peluang sistim kepercayaan  merupakan pranatara-pranatara social budaya dan jaringan sosial yang dimiliki oleh masyarakat pesisir dan nelayan. Potensi ini sebagai modal sosial budaya (cultural capital) yang berharga yang memiliki peranan dalam memobilisasi perubahan perilaku sosial secara sadar dan keiklasan kearah yang lebih baik dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alamlaut dan pesisir.

3.2 SARAN
Untuk mengetahui sistim kepercayaan masyarakat di pesisir dalam penegelolaan sumber daya laut di kabupaten lembata maka harus dilakukan dengan benar- banar teliti sehingga apa yang menjadi tujuan dan harapan kita dapat tercapai dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002, Pengkajian Sumberdaya Perikanan Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur, Kerjasama Balai Peneltian Perikanan Laut, Badan Riset Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lembata.
Satria, A., 2002, Karakteristik Sistem Sosial Masyarakat Pesisir, Kendari. Soekamto, S., 2002, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Prasada, Jakarata
Wahyono, A., 2001, Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, Media Pressindo, Yogjakarta. Undang-Undang Negara RI Nomor 32 tentang Perikanan dan Kelautan, Tahun 2004























Tidak ada komentar:

Posting Komentar